RSS

Arsip Harian: Agustus 8, 2011

Biografi Sahabat Baginda Rasulullah SAW: Sa’ad Bin Abi Waqqash, lelaki penghuni surga di antara dua pilihan

Lelaki penghuni surga di antara dua pilihan, iman dan kasih sayang. Malam telah larut, ketika seorang pemuda bernama Sa’ad bin Abi Waqqash terbangun dari tidurnya. Baru saja ia bermimpi yang sangat mencemaskan. Ia merasa terbenam dalam kegelapan, kerongkongannya terasa sesak, nafasnya terengah-engah, keringatnya bercucuran, keadaan sekelilingnya gelap-gulita. Dalam keadaan yang demikian dahsyat itu, tiba-tiba dia melihat seberkas cahaya dari langit yang terang-benderang. Maka dalam sekejap, berubahlah dunia yang gelap-gulita menjadi terang benderang dengan cahaya tadi. Cahaya itu menyinari seluruh rumah penjuru bumi. Bersamaan dengan sinar yang cemerlang itu, Sa’ad bin Abi Waqqash melihat tiga orang lelaki, yang setelah diamati tidak lain adalah Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar bin Abi Quhafah dan Zaid bin Haritsah.

Sejak ia bermimpi yang demikian itu, mata Sa’ad bin Abi Waqqash tidak mau terpejam lagi. Kini Sa’ad bin Abi Waqqash duduk merenung untuk memikirkan arti mimpi yang baginya sangat aneh. Sampai sinar matahari mulai meninggi, rahasia mimpi yang aneh tersebut masih belum terjawab. Hatinya kini bertanya-tanya, berita apakah gerangan yang hendak saya peroleh. Seperti biasa, di waktu pagi, Sa’ad dan ibunya selalu makan bersama-sama. Dalam menghadapi hidangan pagi ini, Sa’ad lebih banyak berdiam diri. Sa’ad adalah seorang pemuda yang sangat patuh dan taat kepada ibunya. Namun, mimpi semalam dirahasiakannya, tidak diceritakan kepada ibu yang sangat dicintai dan dihormatinya. Sedemikian dalam sayangnya Sa’ad pada ibunya, sehingga seolah-olah cinta Sa’ad hanya untuk ibunya yang telah memelihara dirinya sejak kecil hingga dewasa dengan penuh kelembutan dan berbagai pengorbanan.

Pekerjaan Sa’ad adalah membuat tombak dan lembing yang diruncingkan untuk dijual kepada pemuda-pemuda Makkah yang senang berburu, meskipun ibunya terkadang melarangnya melakukan usaha ini. Ibu Sa’ad yang bernama Hamnah binti Suyan bin Abu Umayyah adalah seorang wanita hartawan keturunan bangsawan Quraisy, yang memiliki wajah cantik dan anggun. Disamping itu, Hamnah juga seorang wanita yang terkenal cerdik dan memiliki pandangan yang jauh. Hamnah sangat setia kepada agama nenek moyangnya, yaitu penyembah berhala.

Pada suatu hari tabir mimpi Sa’ad mulai terbuka, ketika Abu Bakar As Siddiq mendatangi Sa’ad di tempat pekerjaannya dengan membawa berita dari langit tentang diutusnya Muhammad Saw, sebagai Rasul Allah. Ketika Sa’ad bertanya, siapakah orang-orang yang telah beriman kepada Muhammad Saw, dijawab oleh Abu Bakar As Siddiq, dirinya sendiri, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah. Muhammad Saw, mengajak manusia menyembah Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi. Seruan ini telah mengetuk pintu hati Sa’ad untuk menemui Rasulullah Saw, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Kalbu Sa’ad telah disinari cahaya iman, meskipun usianya waktu itu baru menginjak tujuh belas tahun. Sa’ad termasuk dalam deretan lelaki pertama yang memeluk Islam selain Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar As Siddiq dan Zaid bin Haritsah. Cahaya agama Allah yang memancar ke dalam kalbu Sa’ad, sudah demikian kuat, meskipun ia mengalami ujian yang tidak ringan dalam memeluk agama Allah ini.

Diantara ujian yang dirasa paling berat adalah, karena ibunya yang paling dikasihi dan disayanginya itu tidak rela ketika mengetahui Sa’ad memeluk Islam. Sejak memeluk Islam, Sa’ad telah melaksanakan shalat dengan sembunyi-sembunyi di kamarnya. Sampai pada suatu saat, ketika ia sedang bersujud kepada Allah, secara tidak sengaja, ibu yang belum mendapat hidayah dari Allah ini melihatnya. Dengan nada sedikit marah, Hamnah bertanya : “Sa’ad, apakah yang sedang kau lakukan ?” Rupanya Sa’ad sedang berdialog dengan Tuhannya; ia tampak tenang dan khusyu’ sekali. Setelah selesai menunaikan Shalat, ia berbalik menghadap ibunya seraya berkata lembut. “Ibuku sayang, anakmu tadi bersujud kepada Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Mendengar jawaban anaknya, sang ibu mulai naik darah dan berkata : “Rupanya engkau telah meninggalkan agama nenek moyang kita, Tuhan Lata, Manata dan Uzza. Ibu tidak rela wahai anakku. Tinggalkanlah agama itu dan kembalilah kepada agama nenek moyang kita yang telah sekian lama kita anut”. “Wahai ibu, aku tidak dapat lagi menyekutukan Allah, Dia-lah Dzat Yang Tunggal, tiada yang setara dengan Dia, dan Muhammad adalah utusan Allah untuk seluruh umat manusia,” jawab Sa’ad.

Kemarahan ibunya semakin menjadi-jadi, karena Sa’ad tetap bersikeras dengan keyakinannya yang baru ini. Oleh karena itu, Hamnah berjanji tak akan makan dan minum sampai Sa’ad kembali taat memeluk agamanya semula. Sehari telah berlalu, ibu ini tetap tidak mau makan dan minum. Hati Sa’ad merintih melihat ibunya, tetapi keyakinanya terlalu mahal untuk dikorbankan. Sa’ad datang membujuk ibunya dengan mengajaknya makan dan minum bersama, tapi ibunya menolak dengan harapan agar Sa’ad kembali kepada agama nenek moyangnya. Kini Sa’ad makan sendirian tanpa ditemani ibunya. Hari keduapun telah berlalu, ibunya tampak letih, wajahnya pucat-pasi dan matanya cekung, ia kelihatan lemah sekali. Tidak ada sedikitpun makanan dan minuman yang dijamahnya. Sa’ad sebagai seorang anak yang mencintai ibunya bertambah sedih dan terharu sekali melihat keadaan Hamnah yang demikian.

Malam berikutnya, Sa’ad kembali membujuk ibunya, agar mau makan dan minum. Namun ibunya adalah seorang wanita yang berpendirian keras, ia tetap menolak ajakan Sa’ad untuk makan, bahkan ia kembali merayu Sa’ad agar menuruti perintahnya semula. Tetapi Sa’ad tetap pada pendiriannya, ia tak hendak menjual agama dan keimanannya kepada Allah dengan sesuatupun, sekalipun dengan nyawa ibu yang dicintainya. Imannya telah membara, cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya telah sedemikian dalam. Di depan matanya ia menyaksikan keadaan ibunya yang meluluhkan hatinya, namun dari lidahnya keluar kata-kata pasti yang membingungkan lbunya; Demi Allah, ketahuilah wahai ibunda sayang, seandainya ibunda memiliki seratus nyawa lalu ia keluar satu persatu, tidaklah nanda akan meninggalkan agama ini walau ditebus dengan apa pun juga. Maka sekarang, terserah kepada ibunda, apakah ibunda akan makan atau tidak”. Kata kepastian yang diucapkan anaknya dengan tegas membuat ibu Sa’ad bin Abi Waqqash tertegun sesaat.

Akhirnya ia mulai mengerti dan sadar, bahwa anaknya telah memegang teguh keyakinannya. Untuk menghormati ibunya, Sa’ad kembali mengajaknya untuk makan dengannya, karena ibu ini telah merasakan kelaparan yang amat sangat dan ia telah memaklumi pula bahwa anak yang dicintainya tidak akan mundur setapakpun dari agama yang dianutnya, maka ibu Sa’ad mundur dari pendiriannya dan memenuhi ajakan anaknya untuk makan bersama. Alangkah gembiranya hati Sa’ad bin Abi Waqqash. Ujian iman ternyata dapat diatasinya dengan ketabahan dan memohon pertolongan Allah.

Keesokan paginya, Sa’ad pergi menuju ke rumah Nabi Saw. Sewaktu ia berada di tengah majelis Nabi Saw, turunlah firman Allah yang menyokong pendirian Sa’ad bin Abi Wadqash:

“Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu-bapakmu; hanya kepada-Ku-lah tempat kamu kembali. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu turuti keduanya, dan bergaullah dengan keduanya didunia dengan baik dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah tempat kembalimu. Maka Kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Q.S. Luqman: 14-15).

Demikianlah, keimanan Sa’ad bin Abi Waqqash kepada Allah dan Rasul-Nya telah mendapat keridhaan Ilahi. Al-Qur’an telah mengabadikan peristiwa itu menjadi pedoman buat kaum Muslimin. Terkadang Sa’ad mencucurkan air matanya apabila ia sedang berada di dekat Nabi Saw. Ia adalah seorang sahabat Rasul Allah Saw, yang diterima amal ibadahnya dan diberi nikmat dengan doa Rasul Allah Saw, agar doanya kepada Allah dikabulkan. Apabila Sa’ad bermohon diberi kemenangan oleh Allah pastilah Allah akan mengabulkan doanya.

Pada suatu hari, ketika Rasulullah saw, sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba beliau menatap ke langit seolah mendengar bisikan malaikat. Kemudian Rasul kembali menatap kepada sahabatnya dengan berkata : “Sekarang akan ada di hadapan kalian seorang laki-laki dari penduduk surga”. Mendengar ucapan Rasulullah saw, para sahabat menengok ke kanan dan ke kiri pada setiap arah, untuk melihat siapakah gerangan lelaki berbahagia yang menjadi penduduk surga.

Tidak lama berselang datanglah laki-laki yang ditunggu itu, dialah Sa’ad bin Abi Waqqash. Disamping terkenal sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Sa’ad bin Abi Waqash juga terkenal karena keberaniannya dalam peperangan membela agama Allah. Ada dua hal penting yang dikenal orang tentang kesatriaannya. Pertama, Sa’ad adalah orang yang pertama melepaskan anak panah dalam membela agama Allah dan juga orang yang mula-mula terkena anak panah. Dan yang kedua, Sa’ad adalah satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah saw dengan jaminan kedua orang tua Nabi Saw. Bersabda Nabi Saw, dalam perang Uhud :”Panahlah hai Sa’ad ! Ayah-Ibuku menjadi jaminan bagimu”. Sa’ad bin Abi Waqqash, hampir selalu menyertai Nabi Saw dalam setiap pertempuran.

Doa Sa’ad bin Abi Waqqash yang senantiasa dikabulkan

Diriwayatkan dari Qais, bahwa Sa’ad menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,“Ya Allah, kabulkanlah Sa’ad jika dia berdoa.”

Manakala beliau didoakan seperti itu oleh Nabi saw, maka setiap doanya senantiasa dikabulkan oleh Allah. Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah, dia berkata,“Suatu ketika penduduk Mekah mengadukan Sa’ad bin Abi Waqqash kepada Umar bin Khattab, mereka mengatakan bahwa shalatnya tidak baik. Sa’ad kemudian membantah, ‘Aku mengerjakan shalat sesuai dengan shalatnya Rasulullah saw. Shalatku pada waktu isya, aku lakukan dengan lama pada dua rakaat pertama sedangkan pada dua rakaat terakhir aku lakukan dengan ringkas.’ Mendengar itu Umar bin Khattab berkata, “Berarti itu hanya prasangka terhadapmu wahai Abu Ishaq.’ Dia kemudian mengutus beberapa orang untuk bertanya tentang dirinya di Kufah, ternyata ketika mereka mendatangi masjid-masjid di Kuffah, mereka mendapat informasi yang baik, hingga ketika mereka datang ke masjid Bani Isa, seorang pria bernama Abu Sa’dah berkata, ‘Demi Allah, dia tidak adil dalam menetapkan hukum, tidak membagi secara adil dan tidak berjalan (untuk melakukan pemeriksaan) di waktu malam. Setelah itu Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, ‘Ya Allah, jika dia bohong maka butakanlah matanya, panjangkanlah usianya dan timpakanlah fitnah kepadanya.’”

Abdul Malik berkata,“Pada saat itu aku melihat Abu Sa’dah menderita penyakit tuli dan jika ditanya bagaimana keadaanmu, dia menjawab, ‘Orang tua yang terkena fitnah, aku terkutuk oleh doa Sa’ad.”(HR. Muttafaq ‘Alaihi).

Diriwayatkan dari Ibnu Al Musayyib, bahwa suatu ketika seorang pria mencela Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Mendengar itu, Sa’ad menegurnya,“Janganlah kamu mencela sahabat-sahabatku.’ Tetapi pria itu tidak mau menerima. Setelah itu Sa’ad berdiri, lalu mengerjakan shalat dua rakaat dan berdoa. Tiba-tiba seekor unta bukhti (peranakan unta Arab dan Dakhil) muncul menyeruduk pria tersebut hingga jatuh tersungkur di atas tanah, lantas meletakkannya di antara dada dan lantai hingga akhirnya ia terbunuh. Aku melihat orang-orang mengikuti Sa’ad dan berkata, ‘Selamat kamu wahai Abu Ishaq, doamu terkabulkan.’”

Sejarah mencatat, hari-hari terakhir Panglima Sa’ad bin Abi Waqqash ialah ketika ia memasuki usia delapan puluh tahun. Dalam keadaan sakit Sa’ad bin Abi Waqqash berpesan kepada para sahabatnya, agar ia dikafani dengan Jubah yang digunakannya dalam perang Badar, sebagai perang kemenangan pertama untuk kaum muslimin. Pahlawan perkasa ini telah menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun 55 H dengan meninggalkan kenangan indah dan nama yang harum. Ia dimakamkan di pemakaman Baqi’, makamnya para Syuhada.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Agustus 8, 2011 inci Sucikan Hati

 

Biografi Sahabat Baginda Rasulullah SAW: Ali Bin Abu Thalib,Orang yang Dicintai Allah Dan Rasulnya

“Tidak ada pedang, setajam pedang Zulfikar dan tidak ada pemuda yang setangguh Ali bin Abu Thalib”

Demikianlah slogan yang selalu didengung-dengungkan oleh kaum muslimin ketika perang Uhud yang amat dahsyat itu tengah berlangsung. Dalam perang tersebut, Ali bin Abu Thalib memperlihatkan ketangguhannya sebagai seorang pahlawan islam yang gagah perkasa. Ia di kenal sebagai jagoan bangsa Arab yang mempunyai kemahiran memainkan pedang dengan tangguh. Sementara itu, baju besi yang dimilikinya berbentuk tubuh bagian depan di kedua sisi, dan tidak ada bagian belakangnya. Ketika di tanya,”Mengapa baju besimu itu tidak dibuatkan bagian belakangnya, Hai Abu Husein?” Maka Ali bin Abu Thalib akan menjawabnya dengan mudah,”Kalau seandainya aku menghadapi musuhku dari belakang, niscaya aku akan binasa.”

Ketika terjadi perang Badar antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy, di mana kaum muslimin memperoleh kemenangan yang telak, maka korban yang berjatuhan di pihak kaum Quraisy berjumlah tujuh puluh orang. Konon sepertiga korban yang tewas dari pihak kaum Quraisy pada perang badar itu merupakan persembahan khusus dari Ali bin Abu Thalib dan Hamzah bin Abdul Muthalib.

Sementara itu Amru bin Wud Al ‘Amiri, seorang jawara yang tangguh dari kaum kafir Quraisy ikut serta dalam perang Khandak. Dengan angkuhnya ia menari-nari di atas kudanya sambil memainkan pedangnya dan mengejek kaum muslimin seraya berkata,”Hai kaum muslimin, manakah surga yang telah dijanjikan kepadamu bahwa orang yang gugur diantaramu akan masuk kedalamnya? inilah dia surga yang kini berada di hadapan-mu, maka sambutlah.”

Namun nyatanya tak ada seorangpun dari kaum muslimin yang berani maju untuk menjawab tantangan yang dilontarkan Amru bin Wud , yang terkenal bengis dan kejam itu. Tak lama kemudian Ali bin Abu Thalib pun berdiri dan berkata kepada Rasulullah,” Ya Rasulullah, kalau Anda mengijinkan, maka saya akan maju untuk bertarung melawannya” Rasulullah menjawab,”Hai Ali, Bukankah dia itu Amru bin Wud, jagoan kaum Quraisy yang ganas itu?” Ali bin Abu Thalib pun menjawab,”Ya, Saya tahu dia itu adalah Amru bin wud, akan tetapi bukankah ia juga manusia seperti kita?” Akhirnya Rasulullah mengijinkan untuk bertarung melawannya.

Dengan pedang zulfikar Ali bin Abu Thalib membela islam.

Selang beberapa saat kemudian, Ali bin Abu Thalib telah maju ke gelanggang pertarungan untuk bertarung melawan Amru bin Wud. Lalu Amru bertanya seraya memandang remeh kepadanya,”Siapakah kamu hai anak muda?”, “Aku adalah Ali.” Amru bin Wud bertanya lagi,”Kamu anak Abdul Manaf?”, “Bukan, Aku anak Abu Thalib.” Lalu Amru bin Wud berkata,”Kamu jangan maju ke sini hai anak saudaraku! Kamu masih kecil. Aku hanya menginginkan orang yang lebih tua darimu, karena aku pantang menumpahkan darahmu.” Ali bin Abu Thalib menjawab,”Jangan sombong dulu hai Amru! Aku akan buktikan bahwa aku dapat merobohkan-mu hanya dalam beberapa detik saja dan aku tidak segan-segan untuk menghantarkan-mu ke liang kubur.”

Betapa marahnya Amru bin Wud mendengar jawaban Ali bin Abu Thalib itu. Lalu ia turun dari kuda dan dihunus-nya pedang miliknya itu ke arah Ali bin Abu Thalib. Sementara itu Ali bin Abu Thalib menghadapinya dengan tameng di tangan kirinya.

Tiba-tiba Amru bin Wud melancarkan serangannya dengan pedang. Dan Ali pun menangkis serangan itu dengan menggunakan tamengnya yang terbuat dari kulit binatang sehingga pedang Amru tertancap di tameng itu. Maka secepat kilat Ali menghantamkan dengan keras pedang Zulfikar pada tengkuknya hingga ia tersungkur ke tanah dan bersimbah darah, dan kaum kafir Quraisy lainnya yang melihat itu lari tunggang langgang.

Pada suatu ketika Rasulullah mengutus pasukan kaum muslim ke Wilayah Khaibar di bawah pimpinan Abu Bakar As Siddiq. Lalu pasukan tersebut berangkat untuk menembus benteng pertahanan Khaibar. Dengan mengerahkan segala daya kekuatan mereka berusaha membobol benteng tersebut, namun pintu benteng tersebut sangat kokoh sehingga sukar untuk ditembus-nya.

Keesokkan harinya, Rasulullah mengutus Umar bin Khattab untuk memimpin pasukan untuk menaklukkan benteng tersebut. Dengan semangat yang berkobar-kobar akhirnya terjadilah peperangan yang dahsyat antara dua pasukan bersenjata itu. Umar terus membangkitkan semangat anak buahnya agar dapat menguasai benteng khaibar, namun upaya mereka belum membuahkan hasil meskipun telah berusaha sekuat tenaga dan mereka pun pulang dengan tangan hampa.

Setelah itu Rasulullah SAW bersabda,”Esok hari aku akan berikan bendera ini kepada seorang laki-laki yang dicintai Allah dan Rasulnya. Dan mudah-mudahan Allah akan membukakan pintu kemenangan bagi kaum muslimin melalui kedua tangannya, sedangkan ia sendiri bukan termasuk seorang pengecut.”

Maka para sahabat bertanya-tanya “Siapakah laki-laki yang beruntung itu?” Akhirnya setiap orang dari para sahabat itu berdoa dan memohon kepada Allah agar dialah yang di maksud oleh Rasulullah.

Dan keesokkan harinya Rasulullah ternyata menyerahkan bendera kepemimpinan itu kepada Ali bin Abu Thalib yang sedang menderita penyakit mata. Kemudian Rasulullah meludahi kedua belah matanya yang sedang sakit hingga sembuh seraya berkata,”Hai Ali, terimalah bendera perang ini dan bawalah pasukan kaum muslimin bersamamu menuju benteng Khaibar hingga Allah membukakan pintu kemenangan bagi kaum muslimin.”

Lalu Ali bin Abu Thalib memimpin pasukan dan memusatkan pasukannya pada sebuah batu karang besar dekat benteng guna menghimpun kekuatan kembali. Tak lama kemudian ia memberikan komando untuk bersiap-siap menyerbu ke benteng dan akhirnya terjadilah perang yang sengit antara kaum muslimin dengan orang-orang yahudi di sana.

Ali bin Abu Thalib memainkan pedang Zulfikar-nya dengan gesit dan menghunuskan kepada musuhnya yang berani menghadang. Tidak ada musuh pun yang selamat dari kelebatan pedang yang di genggam Ali. Akan tetapi seorang yahudi tiba-tiba menghantamkan pedang kearahnya dengan keras. Secepat kilat di tangkis serangan itu dengan tamengnya, hingga terjatuh tamengnya itu. Akhirnya ia raih sebuah pintu besar yang terbuat dari besi yang berada di sekitar benteng dan dijadikan-nya sebagai tameng dari serangan pedang orang-orang yahudi lainnya. Dan ia tetap menggunakan pintu besar itu hingga perang usai dan kaum muslimin memperoleh kemenangan.

Abu Rofi’ seorang sahabat yang ikut perang itu menyatakan,”Aku telah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Ali bin Abu Thalib mencabut pintu besi yang besar itu untuk dijadikan tameng-nya, Setelah tameng-nya terjatuh dari tangannya.” Kemudian setelah perang usai, ada delapan orang laki-laki, salah seorang diantaranya adalah aku sendiri, yang berusaha untuk menggotong dan menempatkan kembali pintu besi itu ke tempat semula, tetapi mereka tidak mampu untuk melakukannya karena terlalu berat.”

Tentang Ali Bin Abu Thalib

Ali bin Abu Thalib, paman Nabi saw, bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin Abdi Manaf, bin Qushayy. Ibunya adalah, Fathimah binti Asad, bin Hasyim, bin Abdi Manaf. Saudara-saudara kandungnya adalah: Thalib, ‘Uqail, Ja’far dan Ummu Hani.

Dengan demikian, jelaslah, Ali bin Abu Thalib adalah berdarah Hasyimi dari kedua ibu-bapaknya. Keluarga Hasyim memiliki sejarah yang cemerlang dalam masyarakat Mekkah. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim terkenal sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang kepemimpinan masyarakat. Ibunya adalah Fathimah binti Asad, yang kemudian menamakannya Haidarah. Haidarah adalah salah satu nama singa, sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Fathimah adalah salah seorang wanita yang terdahulu beriman dengan Risalah Nabi Muhammad Saw. Dia pula-lah yang telah mendidik Nabi Saw, dan menanggung hidupnya, setelah meninggalnya bapak-ibu beliau, Abdullah dan Aminah. Beliau kemudian membalas jasanya, dengan menanggung kehidupan Ali bin Abu Thalib, untuk meringankan beban pamannya, Abu Thalib, pada saat mengalami kesulitan ekonomi. Saat Fathimah (Ibu Ali bin Abu Thalib) meninggal dunia, Rasulullah Saw yang mulai mengkafaninya dengan baju gamisnya, meletakkannya dalam kuburnya, dan menangisinya, sebagai tangisan seorang anak atas ibunya. Dan bersabda,

“Semoga Allah SWT memberikan balasan yang baik bagi ibu asuhku ini. Engkau adalah orang yang paling baik kepadaku, setelah pamanku dan almarhumah ibuku. Dan semoga Allah SWT meridhai-mu.”

Dan karena penghormatan beliau kepadanya, maka beliau menamakan anaknya yang tersayang dengan namanya: Fathimah. Darinyalah kemudian mengalir nasab beliau yang mulia, yaitu anak-anaknya: Hasan, Husein, Zainab al Kubra dan Ummu Kultsum.

Haidarah adalah nama lain Imam Ali bin Abu Thalib yang dipilihkan oleh ibunya. Namun ayahnya menamakannya dengan Ali, sehingga dia terkenal dengan dua nama tersebut, meskipun nama Ali kemudian lebih terkenal.

Sifat Ali Bin Abu Thalib

Ali Bin Abu Thalib tumbuh menjadi anak yang cepat matang. Di wajahnya tampak jelas kematangannya, yang juga menunjukkan kekuatan, dan ketegasan. Saat ia menginjak usia pemuda, ia segera berperan penuh dalam dakwah Islam, tidak seperti yang dilakukan oleh pemuda seusianya. Contoh yang paling jelas adalah keikhlasannya untuk menjadi tameng Rasulullah Saw saat beliau hijrah, dengan menempati tempat tidur beliau. Ia juga terlibat dalam peperangan yang hebat, seperti dalam perang Al Ahzab, dia pula yang telah menembus benteng Khaibar. Sehingga dia dijuluki sebagai pahlawan Islam yang pertama.

Ali bin Abu Thalib adalah seorang dengan perawakan sedang, antara tinggi dan pendek. Perutnya agak menonjol. Pundaknya lebar. Kedua lengannya berotot, seakan sedang mengendarai singa. Lehernya berisi. Bulu jenggotnya lebat. Kepalanya botak, dan berambut di pinggir kepala. Matanya besar. Wajahnya tampan. Kulitnya amat gelap. Postur tubuhnya tegap dan proporsional. Bangun tubuhnya kokoh, seakan-akan dari baja. Berisi. Jika berjalan seakan-akan sedang turun dari ketinggian, seperti berjalannya Rasulullah Saw. Seperti dideskripsikan dalam kitab Usudul Ghaabah fi Ma’rifat ash Shahabah: adalah Ali bin Abi Thalib bermata besar, berkulit hitam, berotot kokoh, berbadan besar, berjenggot lebat, bertubuh pendek, amat fasih dalam berbicara, berani, pantang mundur, dermawan, pemaaf, lembut dalam berbicara, dan halus perasaannya.

Jika ia dipanggil untuk berduel dengan musuh di medan perang, ia segera maju tanpa gentar, mengambil perlengkapan perangnya, dan menghunuskan pedangnya. Untuk kemudian menjatuhkan musuhnya dalam beberapa langkah. Karena sesekor singa, ketika ia maju untuk menerkam mangsanya, ia bergerak dengan cepat bagai kilat, dan menyergap dengan tangkas, untuk kemudian membuat mangsa tak berkutik.

Tadi adalah sifat-sifat fisiknya. Sedangkan sifat-sifat kejiwaannya, maka ia adalah sosok yang sempurna, penuh dengan kemuliaan.

Keberaniannya menjadi perlambang para kesatria pada masanya. Setiap kali ia menghadapi musuh di medan perang, maka dapat dipastikan ia akan mengalahkannya.

Seorang yang takwa tak terkira, tidak mau masuk dalam perkara yang syubhat, dan tidak pernah melalaikan syari’at.

Seorang yang zuhud, dan memilih hidup dalam kesederhanaan. Ia makan cukup dengan berlauk-kan cuka, minyak dan roti kering yang ia patahkan dengan lututnya. Dan memakai pakaian yang kasar, sekadar untuk menutupi tubuh di saat panas, dan menahan dingin di kala hawa dingin menghempas.

Penuh hikmah, adalah sifatnya yang jelas. Dia akan berhati-hati meskipun dalam sesuatu yang ia lihat benar, dan memilih untuk tidak mengatakan dengan terus terang, jika hal itu akan membawa mudharat bagi umat. Ia meletakkan perkara pada tempatnya yang tepat. Berusaha berjalan seirama dengan rekan-rekan pembawa panji dakwah, seperti keserasian butiran-butiran air di lautan.

Ia bersikap lembut, sehingga banyak orang yang sezaman dengannya melihat ia sedang bergurau, padahal hal itu adalah suatu bagian dari sifat kesempurnaan yang melihat apa yang ada di balik sesuatu, dan memandang kepada kesempurnaan. Ia menginginkan agar realitas yang tidak sempurna berubah menjadi lurus dan meningkat ke arah kesempurnaan. Gurauan adalah ‘anak’ dari kritik. Dan ia adalah ‘anak’ dari filsafat. Menurutku, gurauan yang tepat adalah suatu tanda ketinggian intelektualitas para tokoh pemikir dalam sejarah.

Ia terkenal kefasihannya. Sehingga ucapan-ucapannya mengandung nilai-nilai sastra Arab yang jernih dan tinggi. Baik dalam menciptakan peribahasa maupun hikmah. Ia juga mengutip dari redaksi Al Quran, dan hadits Rasulullah Saw, sehingga menambah benderang dan semerbak kata-katanya. Yang membuat dirinya berada di puncak kefasihan bahasa dan sastra Arab.

Ia amat loyal terhadap pendidiknya, Nabi-nya, juga Rabb-nya. Serta berbuat baik kepada kerabatnya. Amat mementingkan isterinya yang pertama, Fathimah az Zahra. Dan ia selalu berusaha memberikan apa yang baik dan indah kepada orang yang ia senangi, kerabatnya atau kenalannya.

Ali Bin Abu Thalib berpendirian teguh, sehingga menjadi tokoh yang namanya terpatri dalam sejarah. Tidak mundur dalam membela prinsip dan sikap. Sehingga banyak orang yang menuduhnya bodoh dalam politik, tipu daya bangsa Arab, dan dalam hal melembutkan sikap musuh, sehingga kesulitan menjadi berkurang. Namun, sebenarnya kemampuannya jauh di atas praduga yang tidak benar, karena ia tahu apa yang ia inginkan, dan menginginkan apa yang ia tahu. Sehingga, di samping kemanusiaannya, ia seakan-akan adalah sebuah gunung yang kokoh, yang mencengkeram bumi.

Istri-istri Ali bin Abu Thalib

Setelah Fathimah az Zahra wafat, Imam Ali menikahi Umamah bin Abi Al Ash bin Rabi’ bin Abdul Uzza al Qurasyiyyah. Selanjutnya menikahi Umum Banin bini Haram bin Khalid bin Darim al Kulabiyah. Kemudian Laila binti Mas’ud an Nahsyaliyyah, ad Daarimiyyah dari Tamim. Berikutnya Asmaa binti ‘Umais, yang sebelumnya merupakan isteri Ja’far bin Abi Thalib, dan selanjutnya menjadi isteri Abu Bakar (hingga ia meninggal), dan berikutnya menjadi isteri imam Ali. Selanjutnya ia menikahi Ummu Habib ash Shahbaa at Taghalbiyah. Kemudian, Khaulah binti Iyas bin Ja1far al Hanafiyyah. Selanjutnya Ummu Sa’d ats Tsaqafiyyah. Dan Mukhabba’ah bintih Imri’il Qais al Kulabiyyah.

Menjadi Khalifah

Ketika Ali bin Abu Thalib di angkat menjadi khalifah ke empat menggantikan Khalifah Ustman bin Affan, maka ia tidak pernah melakukan kecurangan ataupun penyelewengan dalam pemerintahannya. Ia tidak pernah melakukan korupsi ataupun memakan uang rakyat yang terdapat di “baitul maal.” Namun Ia lebih memilih untuk bekerja sendiri ataupun menjual harta benda miliknya sendiri untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari.

Bahkan diceritakan bahwa Ia pernah pergi ke pasar untuk menawarkan pedangnya kepada orang-orang yang berada di sana sambil berkata,”Adakah di antara kalian yang akan membeli pedangku ini, karena hari ini aku sedang tidak mempunyai uang?” Kemudian orang-orang balik bertanya kepadanya,”Bukankah anda seorang Khalifah yang mempunyai uang banyak ya Amirul Mukminin?” Lalu Ali pun menjawab,”Kalau seandainya aku mempunyai uang empat dirham saja, tentu aku tidak akan menjual pedang kesayanganku ini.”

Pernah suatu ketika Ali bin Abu Thalib tengah menangis di mihrab Masjid Nabawi seraya berkata,”Wahai dunia, janganlah engkau berupaya memperdayai-ku Tetapi perdaya-lah orang-orang selain-ku. Sungguh aku telah menceraikanmu dari diriku dan jangan engkau kembali kepadaku!”

Akhirnya lelaki yang dicintai Allah dan Rasul-NYA ini gugur sebagai syahid di dekat pintu masjid Kufah pada 17 Ramadhan 40 H, akibat di tikam dengan pedang beracun di bagian kening oleh Abdurrahman bin Muljam, ketika ia akan melaksanakan salat subuh berjamaah dengan kaum muslimin.

Bagaimanapun sejarah telah mencatat Bahwa Sayyidina Ali Bin Abu Thalib KW adalah seorang laki-laki yang gagah berani, tangkas cerdas, dan dicintai Allah dan Rasul-Nya.

Dari berbagai sumber.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Agustus 8, 2011 inci Sucikan Hati

 

Biografi Sahabat Baginda Rasulullah SAW: Abdurrahman Bin Auf

Abdurrahman bin Auf termasuk kelompok delapan yang mula-mula masuk Islam, termasuk kelompok sepuluh yang diberi kabar gembira oleh Rasulullah masuk surga, termasuk enam orang sahabat yang bermusyawarah (sebagai formatur) dalam pemilihan khalifah sesudah Umar bin Khattab, dan seorang mufti yang dipercayai Rasulullah saw untuk berfatwa di Madinah selagi beliau masih hidup di tengah-tengah masyarakat kaum muslimin.

Namanya pada masa jahiliah adalah Abdul Amar keturunan Bani Zuhrah, lahir tahun 580 M dan setelah masuk Islam Rasulullah saw memanggilnya Abdurrahman bin Auf.

Abdurrahman bin Auf masuk Islam sebelum Rasulullah saw masuk ke rumah Al-Arqam, yaitu dua hari sesudah Abu Bakar ash Shidiq masuk Islam. Sama halnya dengan kelompok kaum muslimin yang pertama-tama masuk Islam, Abdurrahman bin Auf tidak luput dari penyiksaan dan tekanan dari kaum kafir Quraisy, tetapi dia sabar dan tetap sabar. Pendiriannya teguh dan senantiasa teguh. Dia menghindari dari kekejaman kaum Quraisy, tetapi selalu setia dan patuh membenarkan risalah Nabi Muhammad saw. Kemudian dia turut pindah (hijrah) ke Habasyah bersama-sama kawan-kawan seiman untuk menyelamatkan diri dan agama dari tekanan kaum Quraisy yang senantiasa menerornya.

Tatkala Rasulullah saw. dan para sahabat beliau diijinkan Allah hijrah ke Madinah, Abdurrahman menjadi pelopor bagi orang-orang yang hijrah untuk Allah dan Rasul-Nya. Dalam perantauan, Rasulullah mempersaudarakan orang-orang muhajirin dan orang-orang Anshar. Maka Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi’ al Anshari .

Pada suatu hari Sa’ad berkata kepada saudaranya, Abdurrahman, “Wahai saudaraku Abdurrahman! Aku termasuk orang kaya di antara penduduk Madinah. Hartaku banyak. Saya mempunyai dua bidang kebun yang luas, dan dua orang pembantu. Pilihlah olehmu salah satu di antara kedua kebun itu, kuberikan kepadamu mana yang kamu sukai. Begitu pula salah seorang di antara kedua pembantuku, akan kuserahkan mana yang kamu senangi, kemudian aku nikahkan engkau dengan dia.”

Jawab Abdurrahman bin Auf, “Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya kepada Saudara, kepada keluarga Saudara, dan kepada harta Saudara. Saya hanya akan minta tolong kepada Saudara menunjukkan di mana letaknya pasar Madinah ini.”

Sa’ad menunjukkan pasar tempat berjual beli kepada Abdurrahman. Maka, mulailah Abdurrahman berniaga di sana, berjual beli, melaba dan merugi. Belum berapa lama dia berdagang, terkumpullah uangnya sekadar cukup untuk mahar menikah. Dia datang kepada Rasulullah memakai harum-haruman. Beliau menyambut kedatangan Abdurrahman seraya berkata, “Wah, alangkah wanginya kamu, hai Abdurrahman.”

Kata Abdurrahman, “Saya hendak menikah ya Rasulullah.”

Tanya Rasulullah, “Apa mahar yang kamu berikan kepada istrimu?”

Jawab Abdurrahman, “Emas seberat biji kurma.”

Kata Rasulullah, “Adakan kenduri, walau hanya dengan menyembelih seekor kambing. Semoga Allah memberkati pernikahanmu dan hartamu.”

Kata Abdurrahman, “Sejak itu dunia datang menghadap kepadaku (hidupku makmur dan bahagia). Hingga seandainya aku angkat sebuah batu, maka dibawahnya kudapati emas dan perak.”

Dalam Perang Badar, Abdurrahman turut berjihad fi sabilillah, dan dia berhasil menewaskan musuh-musuh Allah, antara lain Umair bin Utsman bin Ka’ab bin Auf At Taimy. Dalam Perang Uhud, dia tetap teguh bertahan di samping Rasulullah, ketika tentara muslimin banyak yang meninggalkan medan laga. Ketika selesai perang dan kaum muslimin keluar sebagai pemenang, Abdurrahman mendapatkan hadiah sembilan luka parah menganga di tubuhnya dan dua puluh luka kecil. Walau luka kecil, namun di antaranya ada yang sedalam anak jari. Sekalipun begitu, perjuangan dan pengorbanan Abdurrahman di medan tempur jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan perjuangan dan pengorbanannya dengan harta benda.

Pada suatu hari Rasulullah saw. berpidato membangkitkan semangat jihad dan pengorbanan kaum muslimin. Beliau berdiri ditengah-tengah para sahabat. Beliau berkata, “Bersedekahlah tuan-tuan! Saya hendak mengirim satu pasukan ke medan perang.”

Mendengar ucapan Rasulullah saw. tersebut, Abdurrahman bergegas pulang ke rumahnya dan cepat pula kembali ke hadapan Rasululalh di tengah-tengah kaum muslimin. Katanya, “Ya Rasulullah! saya mempunyai uang empat ribu. Dua ribu saya pinjamkan kepada Allah dan dua ribu saya tinggalkan untuk keluarga saya.” Lalu uang yang dibawa dari rumah itu diserahkan kepada Rasulullah dua ribu.

Sabda Rasulullah, “Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya kepadamu terhadap harta yang kamu berikan dan semoga Allah memberkati pula harta yang kamu tinggalkan untuk keluargamu.”

Ketika Rasulullah bersiap untuk menghadapi Perang Tabuk, beliau membutuhkan jumlah dana dan tentara yang tidak sedikit, karena jumlah tentara musuh, yaitu tentara Rum cukup banyak. Di samping itu, Madinah tengah mengalami musim panas. Perjalanan ke Tabuk sangat jauh dan sulit. Dana yang tersedia hanya sedikit. Begitu pula hewan kendaraan tidak mencukupi. Banyak di antara kaum muslimin yang kecewa dan sedih karena ditolak Rasulullah saw. menjadi tentara yang akan turut berperang, sebab kendaraan untuk mereka tidak mencukupi. Mereka yang ditolak itu kembali pulang dengan air mata bercucuran kesedihan, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk disumbangkannya. Mereka yang tidak terima itu terkenal dengan nama “Al Bakkaain” (orang yang menangis) dan pasukan yang berangkat terkenal dengan sebutan “Jaisyul ‘Usrah” (pasukan susah).

Karena itu, Rasulullah saw memerintah kaum muslimin mengorbankan harta benda mereka untuk jihad fi sabilillah. Dengan patuh dan setia kaum muslimin memperkenankan seruan Nabi yang mulia. Abdurrahman turut memelopori dengan menyerahkan dua ratus uqiyah emas. Maka kata Umar bin Khattab berbisik kepada Rasulullah saw., “Agaknya Abdurrahman berdosa, tidak meninggalkan uang sedikit juga untuk istrinya.”

Rasulullah saw. bertanya kepada Abdurrahman, “Adakah engkau tinggalkan uang belanja untuk istrimu?”

Abdurrahman menjawab, “Ada! mereka saya tinggali lebih banyak daripada yang saya sumbangkan.”

Tanya Rasulullah saw., “Berapa?”

Jawab Abdurrahman, “Sebanyak rezeki, kebaikan, dan upah yang dijanjikan Allah.”

Pasukan tentara muslimin berangkat ke Tabuk. Allah memuliakan Abdurrahman dengan kemuliaan yang belum pernah diperolah kaum muslimin seorang jua pun, yaitu ketika waktu shalat sudah masuk, Rasulullah terlambat hadir. Maka, Abdurrahman menjadi imam salat berjamaah bagi kaum muslimin ketika itu. Setelah hampir selesai rakaat pertama, Rasulullah tiba, lalu beliau salat di belakang Abdurrahman dan mengikutinya sebagai makmum. Apakah lagi yang lebih mulia dan utama daripada menjadi imam bagi pemimpin umat dan pemimpin para nabi, yaitu Muhammad Rasulullah saw.

Setelah Rasululalh saw. wafat, Abdurrahman bin Auf bertugas menjaga kesejahteraan dan keselamatan “ummahatul mukminin” (istri-istri Rasulullah). Dia bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan mereka dan mengadakan pengawalan bagi ibu-ibu yang mulia itu bila bepergian. Apabila para ibu tersebut pergi haji, Abdurrahman turut pula bersama-sama mereka. Dia yang menaikkan dan menurunkan para ibu itu ke atas “haudaj” (sekedup) khusus mereka. Itulah salah satu bidang khusus yang ditangani Abdurrahman. Dia pantas bangga dan bahagia dengan tugas dan kepercayaan yang dilimpahkan para ibu orang-orang mukmin kepadanya.

Salah satu bukti yang dibaktikan Abdurrahman kepada ibu-ibu yang mulia, ia pernah membeli sebidang tanah seharga empat ribu dinar. Lalu tanah itu dibagi-bagikannya seluruhnya kepada fakir miskin Bani Zuhrah dan kepada para ibu-ibu orang mukmin, istri Rasulullah. Ketika jatah ibu Aisyah. disampaikan orang kepadanya, ibu yang mulia itu bertanya, “Siapa yang menghadiahkan tanah itu buat saya?”

Orang itu menjawab, “Abdurrahman bin Auf.”

Aisyah berkata, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Tidak ada orang yang kasihan kepada kalian sepeninggalku, kecuali orang-orang yang sabar.”

Begitulah doa Rasulullah saw. bagi Abdurrahman. Semoga Allah senantiasa melimpahkan berkah-Nya sepanjang hidupnya, sehingga Abdurrahman menjadi orang terkaya di antara para sahabat. Perniagaannya selalu meningkat dan berkembang. Kafilah dagangnya terus-menerus hilir mudik dari dan ke Madinah mengangkut gandum, tepung, minyak, pakaian, barang-barang pecah-belah, wangi-wangian dan segala kebutuhan penduduk.

Pada suatu hari iring-iringan kafilah dagang Abdurrahman terdiri dari tujuh ratus unta bermuatan penuh tiba di Madinah. Ya! tujuh ratus ekor unta bermuatan penuh, tidak salah. Semuanya membawa pangan, sandang, dan barang-barang lain kebutuhan penduduk. Ketika mereka masuk kota, bumi seolah-olah bergetar. Terdengar suara gemuruh dan hiruk pikuk. Sehingga Aisyah bertanya, “Suara apa hiruk pikuk itu?”

Dijawab orang, “Kafilah Abdurrahman dengan iring-iringan tujuh ratus ekor unta bermuatan penuh membawa pangan, sandang serta lainnya.

Asiyah berkata, “Semoga Allah melimpahkan berkat-Nya bagi Abdurrahman dengan baktinya di dunia, serta pahala yang besar di akhirat. Saya mendengar Rasululalh saw. bersabda, “Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak (karena surga sudah dekat sekali kepadanya).”

Sebelum menghentikan iring-iringan unta, seorang pembawa berita mengatakan kepada Abdurrahman bin Auf berita gembira yang disampiakan Aisyah, bahwa Abdurrahman bin Auf masuk surga. Serentak mendengar berita itu, bagaikan terbang ia menemuai ibu Aisyah. Katanya, “Wahai Ibu, apakah Ibu mendengar sendiri ucapan itu diucapkan Rasulullah?”

Jawab Aisyah, “Ya, saya mendengar sendiri.”

Abdurrahman melonjak kegirangan. Katanya, “Seandainya aku sanggup, aku akan memasukinya sambil berjalan. Sudilah ibu menyaksikan, kafilah ini dengan seluruh kendaraan dan muatannya, kuserahkan untuk jihad fisabilillah.

Sejak berita yang membahagiakan itu, Abdurrahman pasti masuk surga, maka semangatnya semakin memuncak mengorbankan kekayaannya di jalan Allah. Hartanya dinafkahkannya dengan kedua belah tangan, baik secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan, sehingga mencapai 40.000 dirham perak. Kemudian menyusul pula 40.000 dinar emas. Sesudah itu dia bersedekah lagi 200 uqiyah emas. Lalu diserahkannya pula 500 ekor kuda kepada para pejuang. Sesudah itu 1500 ekor unta untuk pejuang-pejuang lainnya dan tatkala dia hampir meninggal dunia, dimerdekakannya sejumlah besar budak-budak yang dimilikinya. Kemudian diwasiatkannya supaya memberikan 400 dinar emas kepada masing-masing bekas pejuang Perang Badar. Mereka berjumlah seratus orang, dan semua mengambil bagiannya masing-masing. Dia berwasiat pula supaya memberikan hartanya yang paling mulia untuk para ibu-ibu orang mukmin, sehingga ibu Aisyah sering mendoakannya, “Semoga Allah memberikannya minum dengan minuman dari telaga salsabil.”

Di samping itu, dia meningggalkan warisan pula untuk ahli warisnya sejumlah harta yang hampir tidak terhitung banyaknya. Dia meninggalkan kira-kira 1000 ekor unta, 100 ekor kuda, 3000 ekor kambing, dia beristri empat orang. Masing-masing mendapatkan pembagian khusus 80.000, di samping itu masih ada peninggalannya berupa emas dan perak, yang kalau dia bagi-bagikan kepada ahli warinsnya dengan mengampak, maka potongan-potongannya cukup menjadikan seorang ahli warisnya manjadi kaya raya.

Begitulah karunia Allah SWT kepada Abdurrahman berkat doa Rasulullah kepadanya semoga Allah memberkatinya dan hartanya.

Walaupun begitu kaya rayanya, harta kekayaan itu seluruhnya tidak mempengaruhi jiwanya yang penuh iman dan takwa. Apabila ia berada di tengah-tengah budaknya, orang tidak dapat membedakan di antara mereka, mana yang majikan dan mana yang budak.

Pada suatu hari dihidangkan orang kepadanya makanan, padahal dia puasa. Dia menengok makanan itu seraya berkata, “Mushab bin Umair tewas di medan juang. Dia lebih baik daripada saya, waktu dikafani, jika kepalanya ditutup, maka terbuka kainnya. Kemudian Allah membentangkan dunia ini bagi kita seluas-luasnya. Sesungguhnya saya sangat takut kalau-kalau pahala untuk kita disegerakan Allah memberikannya kepada kita (di dunia ini).”

Sesudah berkata begitu, dia mengangis tersedu-sesudu, sehingga nafsu makannya jadi hilang.

Berkatalah Abdurrahman bin Auf dengan ribuan karunia dan kebahagiaan yang diberikan Allah kepadanya. Rasulullah saw, yang ucapannya selalu terbukti benar telah memberinya kabar gembira dengan surga yang penuh dengan kenikmatan.

Telah turut menghantarkan jenazahnya ke tempatnya terakhir di dunia, antara lain sahabat yang mulia Sa’ad bin Abi Waqqash. Pada shalat jenazahnya turut pula, antara lain, Dzun Nurain, Utsman bin Affan. Kata sambutan saat pemakaman, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.

Dalam sambutannya antara lain Ali berkata, “Anda telah mendapatkan kasih sayang, dan Anda berhasil menundukkan kepalsuan dunia. Semoga Allah senantiasa merahmati Anda. Amin!”

 
3 Komentar

Ditulis oleh pada Agustus 8, 2011 inci Sucikan Hati

 

Biografi Sahabat Baginda Rasulullah SAW: Utsman Bin Affan

Pada tahun pertama dari khilafah Usman bin Affan, yaitu tahun 24 Hijriah, negeri Rayyi berhasil ditaklukkan. Sebelumnya, negeri ini pernah ditaklukkan, tetapi kemudian dibatalkan. Pada tahun yang sama, berjangkit wabah demam berdarah yang menimpa banyak orang. Khalifah Usman bin Affan sendiri terkena sehingga beliau tidak dapat menunaikan ibadah haji. Pada tahun ini, Usman bin Affan mengangkat Sa’ad bin Abi Waqqash menjadi gubernur Kufah menggantikan Mughirah bin Syu’bah.

Di tahun 25 Hijriah, Usman bin Affan memecat Sa’ad bin Abi Waqqash dari jabatan gubernur Kufah dan sebagai gantinya diangkatlah Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith (seorang shahabi dan saudara seibu dengan Usman bin Affan). Inilah sebab pertama dituduhnya Usman bin Affan melakukan nepotisme.

Pada tahun 26 Hijriah, Usman bin Affan melakukan perluasan Masjidil Haram dengan membeli sejumlah tempat dari para pemiliknya lalu disatukan dengan masjid. Pada tahun 17 Hijriah, Mu’awiyah melancarkan serangan ke Qubrus (Siprus) dengan membawa pasukannya menyeberangi lautan. Di antara pasukan ini terdapat Ubadah bin Shamit dan istrinya, Ummu Haram binti Milhan al-Ansharish. Dalam perjalanan, Ummu Haram jatuh dari kendaraannya kemudian syahid dan dikuburkan di sana. Nabi saw pernah memberi-tahukan kepada Ummu Haram tentang pasukan ini, seraya berdoa agar Ummu Haram menjadi salah seorang dari anggota pasukan ini. Pada tahun ini, Usman bin Affan menurunkan Amru bin Ash dari jabatan gubernur Mesir dan sebagai gantinya diangkatlah Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh. Dia kemudian menyerbu Afrika dan berhasil menaklukkannya dengan mudah. Di tahun ini pula, Andalusia berhasil ditaklukkan.

Tahun 29 Hijriah, negeri-negeri lain berhasil ditaklukkan. Pada tahun ini, Usman bin Affan memperluas masjid Madinah al- Munawarah dan membangunnya dengan batu-batu berukir. Ia membuat tiangnya dari batu dan atapnya dari kayu (tatal). Panjangnya 160 depa dan luasnya 150 depa.

Negeri-negeri Khurasan ditaklukkan pada tahun ke-30 Hijriah sehingga banyak terkumpul kharaj (infaq penghasilan) dan harta dari berbagai penjuru. Allah memberikan karunia yang melimpah dari semua negeri kepada kaum Muslimin.
Pada tahun 32 Hijriah, Abbas bin Abdul Muththalib, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Mas’ud, dan Abu Darda’ wafat. Orang -orang yang pernah menjabat sebagai hakim negeri Syam sampai saat itu ialah Mu’awiyah, Abu Dzarr bin Jundab bin Junadah al-Ghiffari, dan Zaid bin Abdullah. Pada tahun ke-33 Hijriah, Abdullah bin Mas’ud bin Abi Sarh menyerbu Habasyah.

Seperti diketahui, Usman bin Affan mengangkat para kerabatnya dari bani Umaiyyah menduduki berbagai jabatan. Kebijakan ini mengakibatkan dipecatnya sejumlah sahabat dari berbagai jabatan mereka dan digantikan oleh orang yang diutamakan-nya dari kerabatnya. Kebijakan ini mengakibatkan rasa tidak senang banyak orang terhadap Usman bin Affan. Hal inilah yang dijadikan pemicu dan sandaran oleh orang Yahudi yaitu Abdullah bin Saba’ dan teman-temannya untuk membangkitkan fitnah.

Ibnu Katsir meriwayatkan bahwa penduduk Kufah umumnya melakukan pemberontakan dan konspirasi terhadap Sa’id ibnul Ash, pemimpin Kufah. Mereka kemudian mengirim utusan kepada Usman bin Affan guna menggugat kebijakannya dan alasan pemecatan sejumlah orang dari bani Umayyah. Dalam pertemuan ini, utusan tersebut berbicara kepada Usman bin Affan dengan bahasa yang kasar sekali sehingga membuat dadanya sesak. Beliau lalu memanggil semua pimpinan pasukan untuk dimintai pendapatnya.

Akhirnya, berkumpullah di hadapannya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan (pemimpin negeri Syam), Amr ibnul Ash (pemimpin negeri Mesir), Abduliah bin Sa’ad bin Abi Sarh (pemimpin negeri Maghrib), Sa’id ibnul Ash (pemimpin negeri Kufah), dan Abdullah bin Amir (pemimpin negeri Bashrah). Kepada mereka, Usman bin Affan meminta pandangan mengenai peristiwa yang terjadi dan perpecahan yang muncul…. Masing-masing dari mereka kemudian mengemukakan pendapat dan pandangannya. Setelah mendengar berbagai pandangan dan mendiskusikannya, akhirnya Usman bin Affan memutuskan untuk tidak melakukan penggantian para gubernur dan pembantunya. Kepada masing-masing mereka, Usman bin Affan memerintahkan agar menjinakkan hati para pemberontak dan pembangkang tersebut dengan memberi harta dan mengirim mereka ke medan peperangan lain dan pos-pos perbatasan.

Setelah peristiwa ini, di Mesir muncul satu kelompok dari anak-anak para sahabat. Mereka menggerakkan massa untuk menentang Usman bin Affan dan menggugat sebagian besar tindakannya. Kelompok ini melakukan tindakan tersebut tentu setelah Abdullah bin Saba’ berhasil menyebarkan kerusakan dan fitnah di Mesir. Ia berhasil menghasut sekitar enam ratus orang untuk berangkat ke Madinah dengan berkedok melakukan ibadah umrah, namun sebenarnya mereka bertujuan menyebarkan fitnah dalam masyarakat Madinah. Tatkala mereka hampir memasuki Madinah, Usman bin Affan mengutus Ali bin Abu Thalib untuk menemui mereka dan berbicara kepada mereka. Ali bin Abu Thalib kemudian berangkat menemui mereka di Juhfah. Mereka ini mengagungkan Ali bin Abu Thalib dengan sangat berlebihan, karena Abdullah bin Saba’ telah berhasil mempermainkan akal pikiran mereka dengan berbagai khurafat dan penyimpangan. Setelah Ali bin Abu Thalib membantah semua penyimpangan pemikiran yang sesat itu, mereka menyesali diri seraya berkata, “Orang inikah yang kalian jadikan sebagai sebab dan dalih untuk memerangi dan memprotes Khalifah (Usman bin Affan)?” Mereka kemudian kembali dengan membawa kegagalan.

Ketika menghadap Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib melaporkan kepulangan mereka dan mengusulkan agar Usman bin Affan menyampaikan pidato kepada orang banyak, guna meminta maaf atas tindakannya mengutamakan sebagian kerabatnya dan bahwa ia telah bertobat dari tindakan tersebut.

Usulan ini diterima olehnya. dan Usman bin Affan kemudian berpidato di hadapan orang banyak pada hari Jum’at. Dalam pidato ini, di antaranya Usman bin Affan mengatakan, “Ya Allah, aku memohon ampunan kepada-Mu dan aku bertobat kepada-Mu. Ya Allah, aku adalah orang yang pertama bertobat dari apa yang telah aku lakukan.”

Pernyataan ini diucapkannya sambil menangis sehingga membuat semua orang ikut menangis. Usman bin Affan kemudian menegaskan kembali, bahwa ia akan menghentikan kebijakan yang menyebabkan timbulnya protes tersebut. Ditegaskan-nya bahwa ia akan memecat Marwan dan kerabatnya.

Setelah penegasan tersebut, Marwan bin Hakam menemui Usman bin Affan. Dia menghamburkan kecaman dan protes kemudian berkata, “Andaikan ucapanmu itu engkau ucapkan pada waktu engkau masih sangat kuat, niscaya aku adalah orang yang pertama menerima dan mendukungnya, tetapi engkau mengucapkannya ketika banjir bah telah mencapai puncak gunung. Demi Allah, melakukan suatu kesalahan kemudian meminta ampunan dari-Nya adalah lebih baik daripada tobat karena takut kepada-Nya. Jika suka, engkau dapat melakukan tobat tanpa menyatakan kesalahan kami.”

Marwan kemudian memberitahukan kepadanya bahwa di balik pintu ada segerombolan orang. Usman bin Affan menunjuk Marwan untuk berbicara kepada mereka sesukanya. Marwan lalu berbicara kepada mereka dengan suatu pembicaraan yang buruk, sehingga merusak apa yang selama ini diperbaiki oleh Usman bin Affan. Dalam pembicaraannya, Marwan berkata, “Kalian datang untuk merebut kerajaan dari tangan kami. Keluarlah kalian dari sisi kami. Demi Allah, jika kalian membangkang kepada kami, niscaya kalian akan menghadapi kesulitan dan tidak akan menyukai akibatnya.”

Setelah mengetahui hal ini, Ali bin Abu Thalib segera datang menemui Usman bin Affan dan dengan nada marah, ia berkata, “Mengapa engkau merelakan Marwan, sementara dia tidak menghendaki kecuali memalingkan engkau dari agama dan pikiranmu! Demi Allah, Marwan adalah orang yang tidak layak dimintai pendapat tentang agama atau dirinya sekalipun. Demi Allah, aku melihat bahwa dia akan menghadirkan kamu kemudian tidak akan mengembalikan kamu lagi. Saya tidak akan kembali setelah ini karena teguran-ku kepadamu.”

Setelah Ali bin Abu Thalib keluar, Na’ilah masuk menemui Usman bin Affan (ia telah mendengarkan apa yang diucapkan Ali bin Abu Thalib kepada Usman bin Affan) kemudian berkata, “Aku harus bicara atau diam!” Usman bin Affan menjawab, “Bicara lah!” Na’ilah berkata, “Aku telah mendengar ucapan Ali bin Abu Thalib bahwa dia tidak akan kembali lagi padamu, karena engkau telah menaati Marwan dalam segala apa yang dikehendakinya,” Usman bin Affan berkata, “Berilah pendapatmu kepadaku.” Na’ilah memberikan pendapatnya,”Bertaqwa lah kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Ikutilah sunnah kedua sahabatmu yang terdahulu (Abu Bakar As Siddiq dan Umar Bin Khattab), sebab jika engkau menaati Marwan, niscaya dia akan membunuhmu. Marwan adalah orang yang tidak memiliki harga di sisi Allah, apalagi rasa takut dan cinta. Utuslah seseorang menemui Ali bin Abu Thalib guna meminta pendapatnya, karena dia memiliki kekerabatan denganmu dan dia tidak layak ditentang.”

Usman bin Affan kemudian mengutus seseorang kepada Ali bin Abu Thalib, tetapi Dia menolak datang. Ali bin Abu Thalib berkata, “Aku telah memberitahukan kepadanya bahwa aku tidak akan kembali lagi. Sikap ini merupakan permulaan krisis yang menyulut api fitnah dan memberikan peluang kepada para tukang fitnah, untuk memperbanyak kayu bakarnya dan mencapai tujuan-tujuan busuk yang mereka inginkan.

Usman bin Affan menjabat sebagai khalifah selama dua belas tahun. Tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan celah untuk mendendam-nya. Beliau bahkan lebih dicintai oleh orang-orang Quraisy umumnya ketimbang Umar bin Khattab, karena Umar bin Khattab bersikap keras terhadap mereka, sedangkan Usman bin Affan bersikap lemah lembut dan selalu menjalin hubungan dengan mereka.

Akan tetapi, masyarakat mulai berubah sikap terhadapnya, tatkala ia mengutamakan kerabatnya dalam pemerintahan, sebagaimana telah kami sebutkan. Kebijakan ini dilakukan Usman bin Affan atas pertimbangan silaturrahim yang merupakan salah satu perintah Allah. Akan tetapi, kebijakan ini pada akhirnya menjadi sebab pembunuhannya.

Ibnu Asakir meriwayatkan dari az-Zuhri, ia berkata, “Aku pernah berkata kepada Sa’id bin Musayyab, ‘Ceritakanlah kepadaku tentang pembunuhan Usman! Bagaimana hal ini sampai terjadi!’ Ibnul Musayyab berkata, ‘Usman dibunuh secara aniaya. Pembunuhnya adalah kejam dan pengkhianatnya adalah orang yang memerlukan ampunan. Ibnul Musayyab kemudian menceritakan kepada az-Zuhri tentang sebab pembunuhannya dan bagaimana hal itu dilakukan. Kami sebutkan di sini secara singkat.

Para penduduk Mesir datang mengadukan Ibnu Abi Sarh. Setelah pengaduan ini, Usman bin Affan menulis surat kepadanya yang berisikan nasihat dan peringatan terhadapnya. Akan tetapi, Abu Sarh tidak mau menerima peringatan Usman bin Affan, bahkan mengambil tindakan keras terhadap orang yang mengadukannya.

Selanjutnya, para tokoh sahabat, seperti Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, dan Aisyah mengusulkan agar Usman bin Affan memecat Ibnu Abi Sarh dan menggantinya dengan orang lain. Usman bin Affan lalu berkata kepada mereka, “Pilihlah orang yang dapat menggantikannya.” Mereka mengusulkan Muhammad bin Abu Bakar. Usman bin Affan kemudian menginstruksikan hal tersebut dan mengangkatnya secara resmi. Surat keputusan ini kemudian dibawa oleh sejumlah sahabat ke Mesir. Baru tiga hari perjalanan dari Madinah, tiba-tiba mereka bertemu dengan seorang pemuda hitam berkendaraan unta yang berjalan mundur maju.

Para sahabat Rasulullah itu kemudian menghentikannya seraya berkata, “Mengapa kamu ini! Kamu terlihat seperti orang yang lari atau mencari sesuatu!” Ia menjawab, “Saya adalah pembantu Amirul Mukminin yang diutus untuk menemui Gubernur Mesir.” Ketika ditanya, “Utusan siapa kamu ini!” Dengan gagap dan ragu-ragu, ia kadang -kadang menjawab, “Saya pembantu Amirul Mukminin,” dan kadang- kadang pula ia menjawab,”Saya pembantu Marwan.” Mereka kemudian mengeluarkan sebuah surat dari barang bawaannya. Di hadapan dan disaksikan oleh para sahabat dari Anshar dan Muhajirin tersebut, Muhammad bin Abu Bakar membuka surat tersebut yang ternyata berisi, “Jika Muhammad beserta si fulan dan si fulan datang kepadamu, bunuhlah mereka dan batalkan-lah suratnya. Dan tetaplah engkau melakukan tugasmu sampai engkau menerima keputusanku. Aku menahan orang yang akan datang kepadaku mengadukan dirimu.”

Akhirnya, para sahabat itu kembali ke Madinah dengan membawa surat tersebut. Mereka kemudian mengumpulkan para tokoh sahabat dan memberitahukan ihwal surat dan kisah utusan tersebut.

Peristiwa ini membuat seluruh penduduk Madinah gempar dan benci terhadap Usman bin Affan. Setelah melihat hal ini, Ali bin Abu Thalib segera memanggil beberapa tokoh sahabat, antara lain Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abu Waqqash, dan Ammar. Bersama mereka, Ali bin Abu Thalib dengan membawa surat, pembantu, dan unta tersebut, masuk menemui Usman bin Affan. Ali bin Abu Thalib bertanya kepada Usman bin Affan, “Apakah pemuda ini pembantumu?” Usman bin Affan menjawab “Ya.” Ali bin Abu Thalib bertanya lagi, “Apakah unta ini untamu?” Usman bin Affan menjawab “Ya.” Ali bin Abu Thalib bertanya lagi, “Apakah kamu pernah menulis surat ini?” Usman bin Affan menjawab,”Tidak.” Usman bin Affan kemudian bersumpah dengan nama Allah, “Aku tidak pernah menulis surat tersebut, tidak pernah memerintahkan penulisan surat, dan tidak mengetahui ihwal surat tersebut.” Ali bin Abu Thalib bertanya lagi, “Apakah stempel ini, stempel-mu?” Usman bin Affan menjawab, “Ya.” Ali bin Abu Thalib bertanya lagi “Bagaimana pembantumu ini bisa keluar dengan menunggang untamu dan membawa surat yang distempel, dengan stempel-mu, sedangkan engkau tidak mengetahuinya?” Usman bin Affan kemudian bersumpah dengan nama Allah, “Aku tidak pernah menulis surat ini, tidak pernah memerintahkannya, dan tidak pernah pula mengutus pembantu ini ke Mesir.”

Mereka kemudian memeriksa tulisan surat tersebut dan mengetahui bahwa surat itu ditulis oleh Marwan. Mereka lalu meminta kepada Usman bin Affan agar menyerahkan Marwan kepada mereka, tetapi Usman bin Affan tidak bersedia melakukannya, padahal Marwan saat itu berada di dalam rumahnya. Akhirnya, orang-orang keluar dari rumah Usman bin Affan dengan perasaan marah. Mereka mengetahui bahwa Usman bin Affan tidak berdusta dalam bersumpah, tetapi mereka marah karena dia tidak bersedia menyerahkan Marwan kepada mereka.

Setelah itu, tersiarlah berita tersebut di seluruh Kota Madinah, sehingga sebagian masyarakat mengepung rumah Usman bin Affan dan tidak memberikan air kepadanya. Setelah Usman bin Affan dan keluarganya merasakan kepayahan akibat terputusnya air, ia menemui mereka seraya berkata, “Adakah seseorang yang sudi memberi tahu Ali bin Abu Thalib agar memberi air kepada kami ?” Setelah mendengar berita ini, Ali bin Abu Thalib segera mengirim tiga qirbah air. Kiriman air ini pun sampai kepada Usman bin Affan melalui cara yang sulit sekali.

Pada saat itu, Ali bin Abu Thalib mendengar desas-desus tentang adanya orang yang ingin membunuh Usman bin Affan, lalu ia berkata “Yang kita inginkan darinya adalah Marwan, bukan pembunuhan Usman bin Affan.” Ali bin Abu Thalib kemudian berkata kepada kedua anaknya, Hasan dan Husain, “Pergilah dengan membawa pedang kalian untuk menjaga pintu rumah Usman. Jangan biarkan seorang pun masuk kepadanya.” Hal ini juga dilakukan oleh sejumlah sahabat Rasulullah saw demi menjaga Usman bin Affan. Ketika para pengacau menyerbu pintu rumah Usman bin Affan ingin masuk dan membunuhnya, mereka dihentikan oleh Hasan dan Husain serta sebagian sahabat.

Sejak itu, mereka mengepung rumah Usman bin Affan lebih ketat dan secara sembunyi-sembunyi berhasil masuk dari atap rumah. Mereka berhasil menebaskan pedang sehingga Khalifah Usman bin Affan terbunuh. Ketika mendengar berita ini, Ali bin Abu Thalib datang dengan wajah marah, seraya berkata kepada dua orang anaknya, “Bagaimana Amirul Mukminin bisa dibunuh, sedangkan kalian berdiri menjaga pintu?” Ali bin Abu Thalib kemudian menampar Hasan dan memukul dada Husain, serta mengecam Muhammad bin Thalhah dan Abdullah bin Zubair. Demikianlah, pembunuhan Usman bin Affan merupakan pintu dari mata rantai fitnah yang terus membentang tanpa akhir.

Pertama, di antara keutamaan dan keistimewaan yang dapat dicatat pada periode pemerintahan Usman bin Affan ialah banyaknya penaklukan dan perluasan. Pada periode ini, seluruh Khurasan berhasil ditaklukkan. Demikian pula Afrika sampai Andalusia. Di samping itu, tercatat pula sejumlah prestasi mulia dan agung yang pernah dilakukan Usman bin Affan, seperti menyatukan orang dalam bacaan dan tulisan al-Qur’an yang tepercaya setelah berkembangnya berbagai bacaan yang di khawatirkan dapat membingungkan orang. Juga seperti prestasinya memperluas Masjid Nabawi di Madinah al-Munawwarah.

Tidaklah merusak kemuliaan Usman bin Affan jika dalam berbagai penaklukannya ia mempergunakan Abdullah bin Sa’id bin Abi Sarh dan orang-orang semisalnya, karena Islam menghapuskan semua dosa sebelumnya. Barangkali Ibnu Sarh dengan amal-amalnya yang mulia ini telah menghapuskan segala yang pernah dia lakukan sebelumnya. Bahkan seperti diketahui, ia tetap di jalan lurus setelah itu dan termasuk orang yang tetap baik agamanya.

Kedua, betapapun keras kritik yang dilontarkan kepada Usman bin Affan karena kebijakannya dalam memilih para gubemur dan pembantunya dari kaum kerabatnya (bani Umayyah), kita harus menyadari bahwa kebijakan tersebut merupakan ijtihad pribadinya. Usman bin Affan bahkan telah mempertahankan pendapat tersebut di hadapan sejumlah besar para sahabat. Bagaimanapun sikap kita terhadap pendapat dan pembelaan tersebut, sewaktu mengkritik, kita tidak boleh melanggar adab dalam melontarkan analisis atau pendapat. Juga kesalahan yang dilakukannya tersebut -jika hal itu kita anggap sebagai suatu kesalahan- jangan sampai melupakan kita pada kedudukannya yang mulia di sisi Rasulullah saw, keutamaannya sebagai generasi pertama dalam Islam, dan sabda Rasulullah saw kepadanya pada Perang Tabuk,”Tidaklah akan membahayakan Usman apa yang dilakukannya setelah hari ini.”

Hendaknya kita pun menyadari bahwa pembicaraan dan sanggahan para sahabat, terhadap kebijakannya saat itu, tidak sama dengan kritik dan gugatan yang kita lakukan sekarang terhadap masalah yang sama.

Sanggahan para sahabat terhadapnya, pada saat itu, merupakan pencegahan bagi suatu permasalahan yang ada dan mungkin dapat diubah atau diperbaiki. Segala pembicaraan, di saat itu, sekalipun ber motivasikan kritik dan menyalahkan, merupakan tindakan positif dan bermanfaat. Sementara itu, pembicaraan kita pada hari ini, setelah masalah tersebut menjadi suatu peristiwa sejarah, hanyalah merupakan tindakan kurang ajar terhadap para sahabat yang telah diberikan pujian oleh Rasulullah saw. Beliau melarang kita bersikap tidak sopan kepada mereka, terutama Khilafah Rasyidah.

Bagi siapa saja yang menginginkan amanah ilmiah dalam mengemukakan peristiwa ini, cukuplah dengan berpegang teguh kepada penjelasan yang dikemukakan oleh para penulis dan ahli sejarah tepercaya, seperti Thabari, Ibnu Katsir, dan Ibnul Atsir.

Ketiga, bersamaan dengan munculnya benih-benih fitnah pada akhir-akhir pemerintahan Usman bin Affan, muncul pula nama Abdullah bin Saba’ di pentas sejarah. Peranan Ibnu Saba’ sangat menonjol dalam mengobarkan api fitnah ini. Abdullah bin Saba’ adalah seorang Yahudi berasal dari Yaman. Ia datang ke Mesir pada masa pemerintahan Usman bin Affan. Ia menghasut orang untuk membangkang pada Usman bin Affan dengan dalih mencintai Ali bin Abu Thalib dan keluarga (ahlul bait) Nabi saw. Di antaranya, ia mengatakan kepada orang-orang, “Tidakkah Muhammad saw lebih baik dari Isa as di sisi Allah? Jika demikian halnya, Muhammad saw lebih berhak kembali kepada manusia daripada Isa as. Akan tetapi, Muhammad saw akan kembali kepada mereka dalam diri anak pamannya, Ali bin Abu Thalib, yang merupakan orang terdekat kepadanya.”

Dengan khurafat ini, Abdullah bin Saba’ berhasil menipu masyarakat Mesir, padahal sebelumnya ia gagal mendapatkan pengikut di Yaman. Orang-orang yang tertipu oleh perkataannya inilah yang berangkat ke Madinah guna memberontak kepada Usman bin Affan. Akan tetapi, mereka berhasil dihalau oleh Ali bin Abu Thalib, sebagaimana telah Kita ketahui.

Dari sini, kita mengetahui bahwa kelahiran perpecahan umat Islam menjadi dua kubu: Sunni dan Syi’i, dimulai pada periode ini. Perpecahan ini sepenuhnya merupakan buah tangan Abdullah bin Saba’. Belum lagi penyiksaan dan kekejaman yang dialami oleh Ahlul Bait atau Syi’ah di tangan pemerintahan Umawiyah dan lainnya. Yang penting, bagaimanapun kedua peristiwa ini telah masuk ke dalam sejarah, tetapi kita tidak boleh melupakan realitas lainnya.

Keempat, sekali lagi, kita harus mendapatkan kejelasan tentang hakikat hubungan yang berlangsung antara Usman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib selama periode khilafah yang ketiga ini, juga hakikat sikap yang diambil Ali bin Abu Thalib terhadap Usman bin Affan. Seperti telah kita ketahui bahwa Ali bin Abu Thalib segera membaiat Usman bin Affan sebagai khalifah, bahkan menurut kebanyakan ahli sejarah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir, bahwa Ali bin Abu Thalib adalah orang yang pertama membaiat Usman bin Affan. Kemudian kita ketahui bagaimana Ali bin Abu Thalib mengatakan kepada Usman bin Affan, ketika ia mendengar segerombolan orang yang dikerahkan oleh Abdullah bin Saba’ ke Madinah untuk menggerakkan orang menentangnya, “Aku bereskan kejahatan mereka!” Ali bin Abu Thalib kemudian berangkat dan menemui mereka di Juhfah sampai berhasil menghalau mereka kembali ke Mesir seraya mengatakan,”Inikah orang yang kalian jadikan sebagai sebab dan dalih untuk memerangi dan memprotes khalifah (Usman bin Affan)?” Kita telah mengetahui bagaimana Ali bin Abu Thalib dengan penuh keikhlasan, kecintaan, dan kemauan yang jujur memberikan nasihat kepadanya. Sebagaimana kita tahu pula Ali bin Abu Thalib membelanya sampai akhir kehidupannya; bagaimana ia memobilisasi kedua putranya, Hasan dan Husain, untuk menjaga Usman bin Affan dari ulah orang-orang yang mengepungnya?

Dengan demikian, Ali bin Abu Thalib merupakan pendukung Usman bin Affan yang terbaik selama khilafahnya, di samping merupakan pembela terbaiknya tatkala menghadapi cobaan berat. Ia bersikap tegas dan keras dalam memberikan nasihat kepadanya di belakang hari, tidak lain dan tidak bukan, hanyalah karena cinta dan ghirah kepadanya.

Hendaklah kita memahami hal ini dengan baik agar kita juga mengetahui bahwa orang besar seperti Sayyidina Ali bin Abu Thalib patut diteladani oleh setiap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukti rasa cinta hanyalah berupa “shidqul ittiba” (mengikuti secara jujur) dan istiqamah (terus menerus) dalam meneladani. Marilah kita jadikan suri tauladan-nya sebagai teladan yang terbaik bagi kita dan bukti paling nyata yang mengungkapkan cinta sejati kepada beliau.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Agustus 8, 2011 inci Sucikan Hati